Marlin Sugama, Membangun Bisnis Kreatif dari Hobi
Hobi bisa menghasilkan uang. Itulah
yang dilakukan Marlin Sugama. Melalui bisnis kreatif yang digelutinya,
bisnis Marlin paling tidak bisa mengantongi pemasukan sebesar separo
miliar rupiah.
Merlin mengatakan, bisnis kreatif
yang digelutinya sekarang ini berangkat dari hobinya yang amat gemar
terhadap game. Kalau boleh disebut, Merlin merupakan pengusaha yang
lahir dari hobi yang pernah populer pada tahun 2005 dengan sebutan
hobinomics, yakni sebuah era ekonomi baru dimana kegiatan ekonomi
dihasilkan dari sebuah hobi. Dari hobi atau kesenangan terhadap sesuatu
memunculkan sebuah peluang yang bisa menghasilkan rupiah. Industri
kreatif menjadi salah satu bidang industri yang berpotensi untuk
tumbuhnya hobinomics ini. Tak terhitung lagi banyaknya entrepreneur yang
tumbuh dan mendirikan sebuah usaha berdasarkan hobinya. Adrie Subono,
Wahyu Aditya, Yorris Sebastian Nisiho, Chris Lie adalah beberapa nama di
antara pelaku hobinomics. Marlin Sugama adalah salah satu diantara
sekian banyak nama pelaku hobinomics di industri kreatif.
David Parrish, creative industries business adviser and trainer
dalam bukunya T-Shirts and Suits: A Guide to the Business of Creativity
mengungkapkan bahwa banyak orang yang mengibaratkan kreativitas dan
bisnis seperti air dan minyak. “Kedua hal ini tidak bisa
disatukanpadukan. Menjadikan bisnis dan kreativitas sebagai sebuat
patner, ukannya saling bertentangan,” kata David dalam bukunya. Dan
Marlin berhasil menggabungkan antara ide dan kreativitas dengan sisi komersial.
Marlin adalah co-founder Main
Studio, sebuah perusahaan pengembang game dan animasi yang didirikan
karena hobinya pada dunia entertainment digital. Berkat hobinya bermain
game dan nonton film mengantarkan Marlin pada bisnis yang tak hanya
sekedar menyalurkan hobi tapi juga memiliki nilai ekonomis yang tak bisa
dianggap remeh.
Antara Desain dengan Story Telling
Marlin mengatakan, ide bisnisnya
ini justru berawal dari hobi dan kesenangannya terhadap dunia digital
entertainment khususnya game. Hobi ini akhirnya mengantar Marlin dengan
dua rekannya, Andi Martin (sekarang menjadi suaminya) dan M. Fardiansyah
(Fafan) membangun studio pengembang game bernama Altermyth Studio di
tahun 2003. Sayangnya, 3 tahun kemudian Marlin menjual Altermyth ini ke
tangan investor karena ketidaksesuaian visi. Pasca lepasnya Altermyth
Studio, Marlin dengan rekan sekaligus suaminya Andi Martin dan Fafan
kembali mendirikan studio pengembang game yang diberi nama Main Games
Studio tepat di bulan Juli 2007.
Modal yang digelontorkan di awal
pun tak lebih dari Rp100 juta karena saat itu Marlin hanya mengerjakan
satu produk per waktu (one product at a time). Pengalaman berbisnis di
bidang yang sama memberikan keuntungan bagi ibu dua anak ini karena
jejaring yang sudah terbentuk. Meski demikian, Marlin juga merasakan
kendala di awal bisnis. Di antaranya adalah memperkenalkan Main Studios
pada publik karena biasanya studio baru sulit mendapat kepercayaan dari
klien. Hal ini tak lain karena produk yang dijual pada dasarnya jasa.
Untuk itu, portofolio dan prestasi Main Games menjadi nilai penting agar
dilirik oleh kliennya. Menyadari pentingnya portofolio yang cemerlang
maka Marlin memutuskan mengikuti lomba ICT Award (INAICTA) 2007 silam.
“Untuk mendapatkan kepercayaan kami mengikuti banyak lomba,” jelas
Marlin.
Kerja keras Marlin membuahkan hasil
dengan menyabet gelar juara dalam INAICTA 2007 untuk kategori animasi.
“Setelah mendapatkan prestasi berupa award, kami sudah mendapatkan
kepercayaan dan pengakuan dari klien,” imbuh Marlin. Sejak itulah, order
dari klien pun mulai berdatangan ke tangan Main Games Studio. Marlin
sangat menyadari bisnisnya yang berbasiskan ide kreatif atau intangible
asset ini sangat rawan terhadap pembajakan. Untuk itulah, intellectual
property menjadi salah satu isu penting dalam bisnisnya.
Marlin pun mendirikan Main Motions
Studio di tahun 2009 demi menghasilkan karya animasi yang memiliki IP,
karena selama ini Main Games Studio banyak mengerjakan proyek
outsourcing. Selain itu, Main Motions Studio ini berperan sebagai divisi
pengembang animasi dari Main Games Studio karena tingginya demand
pembuatan animasi. Terhitung Sesame Street Indonesia, Nokia,
Miniclip.com, Games2Win dan Megindo menjadi klien Marlin. “Sebagian
besar client studio kami masih berasal dari luar negeri seperti Amerika
Serikat, Inggris dan India,” imbuh Marlin.
Salah satu produk andalan dari Main
Motions Studio adalah Hebring. Hebring adalah karakter animasi yang
namanya diambil dari bahasa Sunda yang artinya hebat. Hebring diciptakan
pertama kali pada tahun 2007 untuk mengikuti kompetisi animasi tingkat
nasional (INAICTA). “Awalnya kami tidak bermaksud untuk mengkomersialkan
Hebring, namun setelah menang kompetisi Hebring jadi banyak dikenal dan
banyak pihak yang menjadi tertarik untuk menggunakan jasa pembuatan
animasi dari Main Studios,” ujarnya.
Ide Hebring ini datang dari rasa
penasarannya dengan tidak adanya karakter fantasi yang menjadi ikon
Indonesia. Akhirnya, Marlin mengangkat urban culture perkotaan dibungkus
dengan cerita klasik kebaikan memerangi kejahatan. Dan jadilah Hebring
sesosok pahlawan super yang berasal dari Jawa Barat yang berusaha
memerangi kejahatan di ibukota Jakarta.
Menurut Marlin, konsep Hebring
bukan hanya sebuah animasi semata, karena Hebring adalah produk IP yang
dapat dikembangkan ke berbagai bentuk produk. Hebring sendiri memiliki
keunikan karena konsepnya yang sederhana dan mudah diterima dari segi
pemilihan warna dan bentuk. Pemilihan segmen urban culture ini tak lain
bermaksud untuk menghindari kendala di sisi komersial. Selama ini, banyak animasi yang mengambil tema nasionalisme Indonesia, namun secara komersial
tak bersahabat. Saat ini Hebring telah dikembangkan menjadi animasi,
game, komik, mainan (toys) dan berbagai merchandise seperti sticker dan
clothing line.
Bisnis di dunia game dan animasi
memang kian menjamur. Persaingan pun kian ketat. Untuk itu, Marlin sudah
menyiapkan berbagai amunisi untuk menghadapi persaingan. Marlin
mendiferensiasi Main Studios dalam membangun sebuah produk.
Ibu dari Gabril Owen dan Ariel
Jeska ini menyakini semua produk digital entertainment harus memiliki
cerita untuk disampaikan pada end user sehingga bisa dinikmati
produknya. “Jadi untuk setiap pengembangan produk kami akan membuat
script terlebih dahulu, baru kemudian produksi produk tersebut kami
eksekusi berdasarkan script,” jelas penggiat industri kreatif yang
tergabung dalam International Game Developer Association ini. Selebihnya
dengan mengutamakan kualitas produk yang berusaha di deliver oleh
Marlin.
Kini Marlin boleh tersenyum lega,
usaha kerasnya mulai membuahkan hasil. Di tahun keduanya, Marlin telah
berhasil membukukan pendapatan sekitar 50 ribu dollar AS per bulan atau
sekitar Rp 500 juta per bulan dengan asumsi satu dolar Rp 10 ribu.
Marlin mematok tariff berbeda untuk masing-masing proyek.
Untuk game tarifnya dihitung
berdasarkan per man per days. Sedangkan animasi dihitung dari durasi
tampilan film di layar (per finished second). Dan untuk digital comic
dihitung berdasarkan halaman. Sayangnya, Marlin enggan memberikan
perincian lebih lanjut. Hanya saja, Marlin menegaskan dari masing-masing
nilai proyek bisa meraup nett profit sekitar 25% untuk klien lokal.
“Untuk klien internasional kami bisa mendapatkan profit lebih dari 100%,
karena standar internasional lebih tinggi dari Indonesia,” imbuh ibu
dari dua putra ini. Pecinta buku Enid Blyton ini pun mengakui bahwa
profit margin bisnis game dan animasi dapat dikatakan cukup besar per
project-nya. Hal ini memungkinkan karena tak membutuhkan bahan baku
material. Selain itu, Marlin meraup keuntungan dari konversi dollar
ataupun euro ke rupiah karena banyaknya klien internasional.
Tak mengherankan bila Main Studios
mampu meraih pendapatan hampir setengah miliar per bulannya. Marlin
mengungkap karena Main Studios adalah perusahaan B2B (business to
business) dengan target market-nya adalah perusahaan yang ingin
menggunakan jasa pembuatan game dan animasi. Kliennya sendiri pun
sebagian besar adalah biro iklan (advertising) dan consultant. Selain
itu, usaha yang tadinya hanya memiliki empat orang karyawan, kini mampu
mempekerjakan 10 orang dalam jangka waktu satu tahun.
Marlin pun tetap optimis terhadap
prospek bisnis ke depannya. “Kami yakin bisnis digital entertainment
akan semakin berkembang, apalagi melihat perkembangan teknologi yang
semakin cepat, semakin banyak platform baru untuk kami,” kata sarjana
ekonomi lulusan Universitas Pelita Harapan ini. Secara internasional,
business digital entertainment sudah terbukti berhasil mengalahkan
industri entertainment lainnya. Pendapatan industri game secara
keseluruhan telah berhasil mengalahkan industri Hollywood pada tahun
2002 dan industri musik pada tahun 2009 ini. Di tahun 2004 saja, nilai
pasar industry game telah mencapai US$20 juta atau sekitar Rp186
triliun. Sedangkan untuk animasi, jumlah film animasi yang diputar per
tahunnya terus meningkat dengan pendapatan tiket rata-rata sekelas box
office Hollywood pada tahun 2009 ini. (*/SurabayaPost)
0 comments:
Posting Komentar
PEDOMAN KOMENTAR
Ayo berpartisipasi membangun budaya berkomentar yang baik. Pantang bagi kita memberikan komentar bermuatan menghina atau spam.
Kolom komentar tersedia untuk diskusi, berbagi ide dan pengetahuan. Hargai pembaca lain dengan berbahasa yang baik dalam berekspresi. Setialah pada topik. Jangan menyerang atau menebar kebencian terhadap suku, agama, ras, atau golongan tertentu.
Bangun sharing ilmu dengan berkomentar disini :